Friday, 30 August 2019

Definisi Cinta

Adakah mendefinisikan cinta itu harus sesulit mengambil bulan tanpa ada satu anak tangga pun? Bahkan sekalipun ada ratusan gunung tertinggi di dunia?
Padahal cinta sering kali dikatakan sederhana oleh para pujangga.
Mengapa cinta menjadi jauh lebih rumit daripada rumus fisika atau matematika untuk mencari jawaban  angka 1 atau 0 ?. 
Ketika langit tidak mendukung untuk turun hujan agar tangisan seorang yang patah hati tersamarkan. Ketika angin tidak berpihak agar paling tidak semilir saja, tidak gemuruh menakuti seorang yang ingin menyendiri di tepi danau.
Tidak adakah yang bisa mengelak ketika cinta sudah membludak? Membenahi nya agar tetap rapi rasa-rasanya tidak akan bisa dianggap mudah. Ketika seluruh makhluk dan benda telah menjadi siluet dimakan senja, namun masih saja ada perasaan yang tidak tenang.
Mengapa cinta jadi begitu membahayakan, ketika setiap kata yang tersusun rapi dalam kalimat tidak dapat lagi menampungnya?. Mengapa cinta jadi begitu mengerikan, ketika lautan bahkan tidak lagi terasa luas untuk menjadi perbandingannya?

Cinta itu, sudah jauh-jauh hari aku bunuh. Ia yang sudah lama hidup sesuka nya dalam bilik kecil yang sedikit-sedikit terbangun menjadi begitu besar. Seperti api yang menyala dari sebuah korek kemudian diletakkan pada kayu. Perlahan, api nya menyebar, membesar, dan akhirnya menghanguskan. Bukan tidak mungkin akan berubah menjadi abu, paling-paling menjadi arang. Tentu itu adalah sebuah akhir yang pasti harus terjadi. Menyakitkan.
Begitu kira-kira, aku dengan sedikit rasa yang sejak dulu mengena. Tanpa sadar ia membesar. Kemudian aku mulai merasakan ada kehangatan dari rasa yang menjalar itu. Tanpa sadar ia membakar. Tersulut sebuah harapan semu, terpicu ribuan rindu tanpa tahu malu. Semuanya berhasil membakarku, tanpa sisa. Hanya karena sebuah pandangan pertama bertahun-tahun lalu.

Berkali-kali aku saksikan ia semakin kuat membalut kayu yang aku ciptakan sebagai harapan. Cinta yang sudah aku ketahui pasti akan membakarku hingga tuntas, aku sambut dengan antusias. Tidak apa bagiku saat itu. Aku belum tahu bahwa makna dari sebuah pengorbanan bukanlah hal tolol seperti yang aku lakukan. Menunggu tanpa tahu pasti, mengharap dengan kekosongan, meyakini tanpa menyadari hal yang tidak mungkin bisa terjadi. Cinta yang hidup seperti api itu, sekarang sudah benar-benar membinasakan ku seluruhnya. Aku tidak yakin apakah ada yang tersisa, atau aku tinggal menunggu waktu untuk jadi abu?.

Cinta. Cinta yang seperti senja tanpa mega-mega yang berpendaran itu. Seperti senja paling buruk sedunia. Tanpa seorangpun ingin menyaksikan kedatangannya. Aku sudah sangat muak. Seperti yang sudah sering aku tuliskan pada gumpalan awan ketika ia bersembunyi di balik malam, bahwa terkadang aku tiba juga di ladang rindu. Kadang aku tiba juga di hamparan sendu. Merutukki malam yang begitu kejam. Ia selalu datang dengan menawarkan ingatan tentang cinta yang menyedihkan. Aku merasa, otakku semakin hari seperti semakin buas ingin memakan hatiku. Aku baru menyadari setelah bertahun-tahun lamanya. Selama ini, bukan cinta yang aku rasakan. Tapi ribuan hujaman sakit yang terus menerus menyerang, menelusuk jauh tembus sampai hati.

Kini, biar aku katakan aku penuh penyesalan!
Menyesali dahulu sempat menitipkan rasa, sempat memercayakan cinta. Seharusnya dulu tidak perlu aku lihat cinta yang seperti senja, jingga nya berpendaran di ujung langit dengan begitu indah. Padahal ia berubah dengan pasti, menjadi kehitaman. Hitam dan kelam.
30 Agustus 2019
Dari dunia paling dalam merasa pedih.
Mari aminkan agar segera pulih.

No comments:

Post a Comment